Khusus untuk saya, disitu (surat penangkapan) disebutkan tanggal 1 (Desember 2016), tanggal 1 saya tanya ada statement Rachmawati minta ke DPR, yang di Hotel Sari Pan Pacific. Saya tidak terlibat, saya tidak hadir,” kata Kivlan saat audiensi dengan pimpinan DPR RI, Fadli Zon, di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/1/2017).
Kivlan
pun menyesalkan atas tindakan kepolisian yang menuduhnya sebagai salah satu
pelaku dugaan makar. Padahal, sebagai purnawirawan TNI, dirinya juga bertugas
mengamankan negara. Dia juga menyebut pembebasan sandera Abu Sayyaf adalah
upayanya dalam rangka membela negara.
“Sebagai
purnawirawan, saya menyesalkan tindakan kepolisian yang menuduh makar terhadap
kita. Kemudian saya sebagai purnawirawan, saya tetap tentara, UU Pertahanan
menyebutkan para purnawirawan tentara nasional adalah tentara cadangan. Berarti
hukum militer berlaku, tetapi saya ditangkap polisi. Saya merasa kehormatan
saya dan kehormatan TNI dihapuskan dan dilecehkan,” kata Kivlan.
Purnawirawan
TNI dengan pangkat terakhir Mayjen itu juga menjelaskan apa sebenarnya definisi
dari makar. Menurutnya, apa yang dia dan tujuh orang lain lakukan tidak dapat
dipidanakan.
“Untuk
definisi makar, kalau pasal 106, 107, 108, 109, dan pasal 110 tidak kena pada
kita. Pertama, karena melakukan pengkhianatan negara, menjual negara ini.
Kedua, dilakukan dengan bersenjata. Kemudian pasal 10 ayat 4, kalau upaya
merubah ketatanegaraan, kita ini kan menyatakan mengubah ketatanegaraan kembali
ke UUD ’45, tidak dikatakan makar, tidak dipidanakan,” jelas Kivlan.
Kivlan
pun merasa ada pihak yang menginginkannya dipenjara karena terusik oleh sikap
vokalnya selama ini. Bahkan ia pun menyinggung Menko Polhukam Wiranto sebagai
orang yang menginginkan hal tersebut.
“Saya
merasa ada pihak yang ingin saya masuk penjara karena saya vokal. Mungkin boleh
jadi, boleh jadi Wiranto. Ya boleh jadi, saya enggak nuduh. Wartawan boleh
kutip boleh, sampaikan di TV nggak apa-apa,” ujarnya.