Keberanian sangat diperlukan dalam
hidup ini untuk memudahkan tercapainya maksud dan tujuan yang ingin kita capai.
Seorang ulama tunanetra ketika disuguhi hidangan ayam
panggang berujar, “Seandainya kamu seekor elang tidaklah mungkin diperlakukan
orang seperti ini” . Artinya kalau seseorang memiliki keberanian, tidaklah
mudah diperlakukan seenaknya oleh orang yang ingin berbuat dan bertindak
terhadap dirinya. Inilah sebagian manfaat keberanian
itu. Namun disisi lain rasa takut juga diperlukan. Tentu rasa takut bukan dalam
konotasi pengecut, tetapi dalam pengertian takut melakukan pelanggaran terhadap
norma-norma dan penggarisan yang telah di tetapkan oleh Allah SWT.
Sebagai contoh dapat kita
kemukakan perjalanan kepemimpinan Umar Ibnu Khottab. Dia terkenal seorang
yang sangat pemberani. Semasa belum Islam oleh orang Arab dikenal dengan
sebutan “Si kidal yang pemberani”. Selalu siap menantang jago-jago yang
datang untuk bertarung di Pasar Ukasy dan selalu menang. Namun setelah Islam,
apalagi setelah menjadi Khalifah dia termasuk orang yang sangat penakut.
Takut terhadap pertanggung jawaban kepemimpinannya di hari kemudian. Tetapi
tidak dapat disangkal bahwa buah dari rasa takut yang dimiliki Umar Ibnu
Khottab ini dapat membuahkan hasil yang sulit dicari tandingannya sepanjang
sejarah kepemimpinan dalam Islam. Rasa takut seperti ini dapat digolongkan
sebagai rasa takut yang produktif. Bukan rasa takut yang mematikan.
Hasil dari rasa takut
Masih berhubungan dengan
kepemimpinan Umar Ibnu Khottab. Sebagai manifestasi rasa tanggung jawab
dalam memimpin dan rasa takutnya kepada Alah SWT hampir setiap malam dia
ngeluyur ke tengah-tengah kampung, keluar masuk lorong untuk melakukan
check on the spot untuk mengetahui langsung apa yang terjadi pada rakyatnya.
Kalau-kalau ada yang kelaparan; ada yang sakit atau kena mausibah-musibah lain.
Ketika berhenti sejenak disebuah rumah kecil milik seorang janda miskin
dia mendengar sebuah dialog antara ibu dengan anak prempuanya. Sang ibu
menyuruh anaknya mencampur susu yang akan dijual besok dengan air karena
sedikit sekali hasil perahan yang diperoleh tadi siang. Menurut sang ibu kalau
tidak dicmpur bakal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan untuk hari ini.
Sang anak gadis tidak setuju dengan pendapat orang tuanya dengan alasan,
Khalifah melarang keras kita berbuat demikian. Sang ibu megnemukakan alasan
bahwa, “ Kan Khalifah tidak juga mengetahui pebuatan kita ini”.
Sang anak dengan penuh keseriusan
mencoba meyakinkan orang tuanya bahwa, “Khalifah Umar memang tidak mengetahui
tapi Tuhan Yang Maha Kuasa pasti mengetahuinya. Saya minta dengan sangat jangan
sampai ibu berbuat demikian”.
Peristiwa itu terjadi menjelang
subuh. Umar Ibnu Khattab menuju mesjid smbail menangis haru. Usai shalat Subuh
anaknya yang bernama Ashim diperintahkan menyelidiki rumah orang tua miskin
yang mempunyai seorang gadis itu. Setelah Ashim kembali menceritakan
segala sesuatu tentang keluarga itu, Umar Ibnu Khottab memerintahkan anaknya
yang memang sudah berkeinginan untuk nikah agar menikahi gadis miskin
tapi suci itu. Mudah-mudahan dari hasil pernikahan itu, kata Umar Ibnu
Khottab, lahir seorang pemimpin Arab.
Ternyata kemudian memang terbukti
do’a dan harapan itu. Dari hasil penikahan itu lahirlah seorang perempuan yang
bernama Laila yang akhirnya dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari hasil
pernikahan ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz yang kelak menjadi khalifah
mewarisi kepemimpinan kakeknya, Umar Ibnu Khottab.
Umar bin Abdul Aziz dikenal sangat
berwibawa serta jujur dan adil didalam menjalankan mekanisme
pemerintahannya. Digambarkan sebagai seorang yang dikepalanya
terdapat akal bijak, didadanya terdapat hati pahlawan, dimulutnya terdapat
lidah sastrawan. Kelak dia menguasai negeri-negeri Maroko, Aljazair, Tunisia,
Tripoli, Mesir, Hijaz, Najed, Yaman, Suriah, Palestina, Yordania, Libanon,
Iraq, Armenia, Afghanistan, Bukhar sampai Samarkand.
Kendati dia tetap tinggal di
sebuah rumah kecil yang tidak lebih bagus dari rumah penduduk pada
umumnya. Sehingga utusan-utusan negara-negara lain yang ingin menemuinya pusing
mencari rumahnya, karena jauh diluar bayangannya kalau rumahnya sejelek itu.
Ini adalah buah dari rasa takut
yang dimiliki oleh perempuan miskin disudut kota yang menarik hati Khalaifah
Umar Ibnu Khattab untuk menikahkan dengan putranya. Lalu melahirkan seorang
Laila yang tumbuh dalam iman dan taqwa kepada Allah SWT. Gadis suci dan cantik
itu kemudian dipersunting oleh seorang yang tepandang di Madinah karena iman
dan taqwanya pula, Abdul Aziz bin Marwan.
Satu lagi cerita yang
menggambarkan buah dari rasa takut melakukan perbuatan dosa. Seorang anak yang
memungut buah delima yang ranum dari sungai. Setelah dimakan lalu timbul
penyesalan. Dia sangat menyesal memakan buah itu tanpa izin kepada pemiliknya.
Padahal buah-buahan yang gugur yang dialirkan oleh sungai lazimnya tidak ada
lagi sangkut pautnya dengan yang punya. Namun karena anak ini seorang yang wara’ ,
sangat takut melakukan dosa. Dia menelusuri sungai itu kearah hulu sampai
dia menemukan sebuah kebun delima. Dicarinya pemilik kebun itu. Dengan sangat
agar dia dapat dimaafkan karena telanjur memakan buah delima yang didapati
terapung di sungai. Dalam hati pemilik kebun itu, ini tentu bukan anak
sembarangan. Si pemilik kebun itu mengetes anak ini. “Tidak mungkin
saya maafkan, kecuali kalau kau mau menikahi anak gadisku”. “Tapi saya
belum ingin nikah, Pak”. Jawabnya. “Ya, terserah, tapi saya tidak
memaafkanmu”. “Baiklah Kalau begitu, saya siap menikahi anak
Bapak”. “ Tapi perlu kamu ketehui” –- kata orang tua itu– “Bahwa anak
gadis saya itu buta, bisu, tuli dan lumpuh”.
Setelah berfikir sejenak, dalam
hatinya secara manusiawi berkata, “Mau diapakan perempuan seperti itu. Tidak
dapat diajak berkomunikasi”. Tapi demi keselamatannya dari kungkungan
dosa yang membahayakan kehidupannya kelak diakhirat dia terima ajakan itu.
Diapun dinikahkan langsung oleh orang tua itu setelah memanggil saksi.
Setelah nikah dia sendiri disuruh
mendatangi isrinya di kamar. Alangkah kagetnya, karena yang ditemui di kamar
adalah seorang perempuan cantik. Mungkin perempuan itu penjaga
gadis cacat itu, pikirnya. Dia kembali menemui mertuanya. “Tidak ada di kamar
perempuan seperti yang Bapak maksud itu. Di kamar tidak ada orang yang buta,
bisu, tuli dan lumpuh.
Sang mertua menjelaskan,” Itulah
yang Bapak maksud, nak!. Yang saya katakan buta karena tidak suka melihat yang
jelek-jelek yang dapat mendatangkan dosa; yang Bapak maksudkan dengan bisu
karena tidak suka ngomong yang mendatangkan dosa; yang saya maksudkan dengan
tuli karena dia sangat tidak senang mendengar suara-suara yang mendatangkan
dosa; yang saya maksud dengan lumpuh karena dia tidak suka kemana-mana,
lagi-lagi kaarena takut terlibat dalam perbuatan dosa. Makanya ketika
kamu datang melaporkan perbautanmu meminta dimaafkan atas perbuatanmu memakan
buah delima yang hanyut di sungai, langsung saya tangkap kamu, karena orang
baik-baiklah yang mau melakukan itu. Saya tidak ingin menikahkan anak
saya dengan sembarang orang”.
Hasil pertemuan kedua orang “takut
berbuat dosa” itu, lahirlah seorang ulama besar, yang kita kenal dengan
Imam Syafi’i, yang mazhabnya paling banyak pengikutnya di seluruh dunia.
Ulama yang sejak umur 7 tahun sudah menghafal Al-Qur’an 30 juz.***Manshur Salbu