MPI Muhammadiyah : Pemerintah Jokowi Jangan Meniru Gaya Orba
Risalahnews.com,-- Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Mustofa B. Nahrawardaya mengingatkan Pemerintahan Jokowi tidak meniru gaya Orde Baru dalam penegakan hukum bidang pers. Semangat Reformasi dan semangat kebebasan Pers harus diseimbangkan.
“Ya kalau dicari-cari kesalahannya, pasti ada. Namun memberantas media tidak bisa dilakukan dengan pukul rata seperti saat ini. Media portal Islam diblokir tanpa pemberitahuan, disamakan dengan memblokir media gratisan seperti blog atau domain gratis. Pemerintah tidak boleh seenaknya sendiri, dengan melakukan tindakan seperti itu. Polri saja, tidak akan menerima semua aduan karena mempertimbangkan banyak hal,”ujar Mustofa, (4/1) di Jakarta.
“Membangun media tidak gampang. Kalau secara administratif, mudah. Membangun kepercayaan kepada publik sangat sulit. Media-media Islam yang diblokir, saya kenal baik sangat dipercaya Umat sehingga dapat bertahan lama. Berita dan artikelnya sangat dibutuhkan umat mayoritas pemeluk Islam di Indonesia, maka media tersebut banyak yang membuka. Nah, kalau kemudian hanya karena laporan masyarakat, atau rekomendasi lembaga tertentu tanpa klarifikasi, lalu memblokir begitu saja, tentu tidak elok.
Lebih jauh Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) ini menjelaskan, soal ketentuan itu sudah diatur di Permen Kominfo tahun 2014 kalau tidak salah. Namun Kominfo punya kewajiban sosialisasi Permen tersebut. Munculnya protes, karena Kominfo tidak melakukan sosialisasi secara lengkap. Alhasil, memutus akses tentu bisa dilakukan dalam hitungan detik, tapi bayangkan membangun portal seperti Media Islam itu memerlukan waktu bertahun-tahun,”tambah Mustofa.
Menurutnya, substansi pemblokiran Media, termasuk Media Islam, mungkin dilandasi dua alasan. Pertama, adalah alasan Hukum dan Kedua adalah alasan konten. Sesuai dengan Peraturan Dewan Pers No. 4/2008, setiap Perusahaan Pers harus berbadan hukum. Kewajiban ini mengikat bagi yang memang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi. Namun alasan kedua yakni konten, tentu berbeda lagi.
Berbadan Hukum, ternyata belum cukup “aman” karena masih ada satu hal yang bisa dipersoalkan yakni konten. Namun, meski kontennya bagus, kalau belum berbadah hukum, tidak semestinya bisa diblokir. Selama tidak bermasalah, tidak perlu ada pemblokiran. Hanya saja, istilah “bermasalah”, juga bukan definisi yang mudah. Selama ini, asal ada rekomendasi dari BNPT, Polri, Dinkes, atau dari Ormas tertentu, pemblokiran segera dapat dilaksanakan.
Artinya, kalau hanya dengan alasan ada pengadu, maka tentu para pengadu dapat saja melakukan pengaduan bukan karena murni melihat ada masalah di media yang
diblokir, namun bisa saja lebih karena sentimen karena perbedaan sudut pandang atau perbedaan aliran, atau karena soal suka dan tidak suka. Dari sinilah, muncul kesan adanya diskriminasi.
“Namun anehnya, banyak sekali portal yang isinya mengaduk-aduk NKRI, mengadudomba antar agama, mencaci ulama, menghina Pancasila, dan merusak Kebhinekaan, tidak segera ditutup. Kesan yang saya tangkap, hanya Media Islam yang kini menjadi bidikan utama,”tutup Mustofa.***
Sumber : sangpencerah/ editor :rn